Renungan Harian Kelana Sabda, Rabu 2 September 2020
Injil Lukas, 4:38-44
Meminta kepada Yesus supaya menolong kita
Saudara-saudariku yang dikasihi Allah, pengalaman sakit atau derita tentu pernah kita alami. Entah itu karena sakit fisik, hati atau pun pikiran. Dalam pengalaman sakit itu, kita merasa membutuhkan pertolongan dan perhatian dari sesama kita. Pengalaman sakit ini mengajarkan bahwa sebenarnya kita adalah makhluk yang lemah dan tidak dapat hidup seorang diri. Ibu mertua Petrus dan orang-orang lain yang disembuhkan oleh Yesus dalam kisah Injil Lukas ini, memperlihatkan hal itu.
Penginjil Lukas, sebenarnya mau memperlihatkan kepada kita bahwa orang-orang yang sakit, pertama-tama membutuhkan orang yang sehat, bukan obat-obatan meskipun itu memang dibutuhkan. Dalam kisah ini diceritakan bahwa “mereka meminta Yesus supaya menolong ibu mertua Petrus”. “Semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam penyakit ”. Hal ini memperlihatkan bahwa peran orang-orang di sekitar mereka yang mengalami sakit adalah hal utama yang bisa membantu orang yang sakit tersebut mendapat perhatian dan pertolongan. Berkat permintaan orang-orang tersebut kepada Yesus, akhirnya ibu mertua Petrus dan orang-orang lain dapat disembuhkan.
Saudara-saudariku yang dikasihi Allah, bercermin pada kisah Injil Lukas ini dan juga dalam kehidupan kita sehari-hari, tentu kita sudah banyak berbuat bagi mereka yang sakit atau menderita. Entah itu menolong mereka yang secara langsung maupun tidak.
Zaman kita ini, sakit sudah memiliki arti yang banyak, tidak hanya sebatas pada sakit fisik. Sesama kita yang dirundung kesusahan karena beban hidup yang berkaitan dengan: pekerjaan, pendidikan, kehidupan keluarga, musibah atau bencana adalah mereka yang juga mengalami rasa sakit. Sejauh mana kita berusaha hadir meringankan beban mereka atau sekadar mendoakan mereka jika memang kita tidak sanggup menolong secara langsung? Sejauh mana kita menyatakan rasa solidaritas kepada mereka yang mengalami rasa sakit itu? Ataukah mungkin kita juga sendiri yang mala mengalami rasa sakit itu?
Saudara-saudariku yang dikasihi Allah, melihat keadaan hidup kita sekarang yang banyak mengalami “rasa sakit atau derita” mungkin kita harus dengan rendah hati menyadari dan mengakui bahwa “obat” utama untuk mengobati berbagai “rasa sakit” yang kita alami saat ini dan yang akan datang adalah Yesus sendiri. Sejauh mana kita mau secara pribadi dan bersama datang kepada Dia, jika kita mengalami sakit? Ataukah kita langsung lari serta tergantung pada obat-obatan dan alat-alat canggih dari dunia kesehatan? Sejauh mana kita mempercayakan hidup kita kepada Yesus saat-saat kita mengalami rasa sakit atau derita itu? Semoga!
Pace e bene,
Sdr. Wandi, OFM