Renungan Harian Kelana Sabda, Jumat 4 September 2020
Injil Lukas, 5:33-39
Mengasihi Tuhan dalam Aturan yang Ada
Saudara-saudari yang dikasihi dan mengasihi Tuhan, kita mengenal bahwa dalam kehidupan bangsa Yahudi terdapat banyak aturan keagamaan yang membimbing hidup meraka kepada Tuhan. Namun dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari dapat ditemukan pula bahwa aturan-aturan hidup keagamaan itu seringkali dipergunakan untuk menjerat orang atau bahkan untuk mencari-cari persoalan dengan orang lain. Salah satunya berkaitan dengan aturan berpuasa dan sembahyang seperti yang dikisahkan dalam penginjil lukas pada hari ini. Menanggapi pernyataan itu, maka Yesuspun mengatakan bahwa jika mempelai dan sahabat-sahabatnya masih bersama, mereka tidak berpuasa namun, apabila mempelai itu diambil dari mereka maka pada saat itulah mereka akan berpuasa. Selanjutnya Yesus menegaskan pernyaatnya itu dengan dua buah perumpamaan. Perumpamaan pertama ialah mengenai secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Perumpamaan yang kedua mengenai anggur yang baru jika diisikan pada kantong yang tua maka akan mengkoyakan kantong itu dan anggur itupun akan terbuang dan kantong itupun akan hancur.
Sudara-saudari yang dikasihi dan mengasihi Tuhan, dengan menjawab seperti itu Yesus mau menegaskan bahwa yang terpenting dari aturan hidup keagamaan ialah menghayati dan menghidupinya dalam terang kebenaran Tuhan bukan untuk mencari letak kesalahan orang lain. Jika memang demikian maka tidak ada manfaanya. Puasa dan sembahyang bukan terletak pada hal-hal lahiriah atau aturan keagamaan melainkan terletak pada hati manusia dan motivasinya untuk membebaskan diri dari kemelekatan dan semakin mengasihi Tuhan dan hidup seturut apa yang dikehendaki-Nya. Dan lebih dari itu dapat mengubah semangat hidup manusia dan memperbaharui dirinya hingga bergantung sepenuhnya kepada Tuhan.
Saudara-saudari yang dikasihi dan mengasihi Tuhan. Mungkin dalam kehidupan sehari-hari, kita memiliki pemahaman yang sama seperti orang-orang Farisi yakni dengan cara sengaja atau tidak sengaja menggunakan aturan hidup keagamaan, untuk menilai kelemahan orang-orang di sekitar kita. Mungkin juga hingga saat ini hidup kita hanya dipenuhi dengan aturan-aturan dan jarang kita hanyati dengan sepenuh hati.
Saudara-saudari yang dikasihi dan mengasihi Tuhan, jikalau kita setuju dan akui bahwa aturan-aturan itu baik pada dirinya dan berkenan kepada Tuhan, maka pertama-tama yang mesti kita lakukan adalah menghayatinya, mempraktekannya, serta menjadi model bagi sesama kita. Saya pikir itulah yang diharapkan dari Tuhan kepada kita semua. Semoga demikian.
Pace e bene,
Sdr. Theo Tepa, OFM