Renungan Harian Kelana Sabda, Sabtu 4 Juli 2020
Matius, 9:14-17
Berpuasa untuk Kematangan Hidup Rohani
Salah satu hukum wajib yang berlaku dalam kehidupan orang Yahudi ialah berpantang dan berpuasa. Bagi orang Yahudi puasa merupakan tradisi keaggamaan yang hukumnya wajib untuk dilakukan setiap tahunnya. Tradisi ini dipelihara, dilestarikan dan terus diwariskan turun-temurun. Orang Yahudi biasanya berpuasa dua kali seminggu, yakni hari Senin dan hari Kamis. Bagi kita orang Kristiani, puasa berarti tanda pertobatan, tanda penyangkalan diri, dan tanda kita mempersatukan sedikit pengorbanan kita dengan pengorbanan Kristus Yesus di palang penghinaan sebagai silih atas dosa kita. Sudah barang tentu tradisi atau kebiasaan keagamaan yang kini kita lakukan tadisi keagamaan, adalah juga merupakan pewarisan tradisi keagamaan orang Yahudi.
Sdr/i yang dikasihi oleh Tuhan, hari ini Yesus berbicara dalam sabda suci-Nya perihal bagaimana orang berpuasa. Wajar saja bilamana murid-murid Yohanes dan orang Farisi lainnya mengomentari Yesus dan murid-muridnya. Karena pada dasarnya mereka seakan-akan dapat berpuasa hanya sebatas menjalankan tradisi keagamaan mereka. Namun, di sini penginjil Markus hendak menampilkan bagaimana Yesus hendak menunjukan makna terdalam dari puasa itu sendiri. Yesus hendak memberi suatu pencerahan bagai orang Farisi yang kelihatannya patuh dalam menjalankan tradisi keagamaan. Tidak salah bila tradisi itu terus dilakukan, hanya saja yang Yesus maksudkan di sini ialah bagaimana kita menjalani puasa itu mesti dengan penuh kesadaran. Puasa itu pertama-tama dari guna melestarikan dan terus memupuk hidup rohani kita dan bukan sekedar menjalani tradisi atau rutinitas keagamaan toh. Yesus mengatakan anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru artinya bahwa, dalam berpuasa, bukanlah penampilan luar yang penting untuk dipamerkan pada orang lain tetapi pertobatan batin. Bukan mengutamakan kuantitas tetapi kualitas iman kita serta motifasi yang murni untuk dapat melepaskan diri dari kekuasaan dunia, keserakahan, kemunafikan, keangkuhan, kesombongan dan lain sebagainya. Sebab berpuasa adalah cara kita bertobat dengan sungguh-sungguh dan semakin mematangkan hidup rohani kita.
Sdr/i yang dikasihi oleh Tuhan, barang kali kita juga menjadi orang yang dalam hidupnya hanya mau menampilkan kuantitas hidup di mata orang lain agar mendapat pujian dan bukan kualitas iman serta kematangan hidup rohani yang kita perjuangkan. Semoga dengan baca suci hari ini semakin memotivasi dan mendorong kita untuk relah melepaskan diri dari keangkuhan, kesombongan, kemunafikan dalam hidup kita dan terus memperjuangkan hidup kita untuk semakin mematangkan hidup rohani kita dengan berpuasa dari batin dan terus mematangkan hidup rohani kita agar hidup dan karya kita selalu terarah pada Tuhan. Janganlah kita menganggap hidup rohani kita sudah dewasa sebab kemanusiawian kita akan terus melekat erat dalam hidup kita. Puasa hendaknya menghasilkan buah-buah yang manis, yaitu: pembaharuan diri melalui pertobatan, kehidupan doa yang tulus, dan mau berbagi dengan sesama. Bila ini belum berhasil dilakukan maka itu ibaratnya anggur yang baru disimpan dalam kantong yang lama, akan merusak kantonng itu sendiri, yakni kehidupan kita sendiri. Maka, marilah kita terus memperbaharui diri kita demi kualitas hidup yang dewasa dalam seluruh tugas dan panggilan kita. Amin.
Pace e bene,
Sdr. Hilarius Marian, OFM