Menemukan Allah Dalam Keheningan Doa
Pada hakekatnya manusia diciptakan memiliki kehendaknya sendiri untuk memilih dan memutuskan apa yang berkenan sesuai dengan yang diinginkannya. Betapapun demikian, manusia sering membuat protes dan menanyakan keberadaan Allah ketika ia mengalami penderitaan. Manusia akan membuat pertanyaan tentang apakah Allah itu benar-benar ada? Kalau memang Allah itu ada kenapa penderitaan itu ada dalam hidup manusia?
Ada dua hal yang perlu untuk diketahui manusia berkaitan dengan kodratnya sebagai ciptaan. Pertama, manusia diciptakan 100% tergantung pada Allah. Kedua, manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki kebebasan. Maka di satu pihak manusia tergantung pada Allah, mengharapkan pertolongan dari pada-Nya dan disisi lain manusia bebas serta bertangungjawab penuh bagi dirinya. Untuk itu dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup manusia, didasari oleh iman kepada Allah dan usaha dari manusia itu sendiri.
Melihat kedua hal itu, kebebasan cenderung mendominasi manusia dalam bertindak dan melakukan sesuatu. Kebebasan yang berlebihan bisa menghantar manusia itu pada perbuatan dosa. Dengan demikian manusia jauh dari Tuhan. “Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barang siapa berbuat jahat, membenci terang, dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak tampak” (Yoh 3:19-20).
Maka untuk mengenal Tuhan kita harus benar-benat terlebih dahulu menaruh cinta pada-Nya. Sebab cinta itulah yang sudah dari awal mula penciptaan, kita terimah dari Tuhan. Sebab Tuhan itu cinta yang tak terbatas yang menciptakan manusia atas dasar cinta karena kodrat-Nya iala cinta itu sendiri. “Kita diciptakan karena cinta, untuk cinta dan untuk mencintai” maka “jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurnah di dalam kita” (1Yoh 4:12).
Sebagai manusia yang terbatas, relasi dengan Allah merupakan jalan dimana dengannya kita menyadari kehidupan kita. Relasi dengan Allah memampukan manusia dapat melihat kedalaman dirinya. Relasi yang intim dengan Allah membuat manusia memahami arti dari hidupnya. Maka dalam hal ini seseorang harus (masuk dalam diri dirinya dalam doa dan keheningan). Syarat mutlak untuk doa adalah “masuk kedalam diri sendiri”, menyadari diri sedalam-dalamnya sebagai makluk ciptaan, menyadari bahwa hidup yang dimiliki ini bukan berasal dari diri sendiri. Hidup diberikan kepada kita berupa anugerah atau rahmat, dan itu diberikan kepada kita oleh Pribadi yang begitu sempurna. Maka berbicara mengenai relasi pribadi itu, iman mempunyai tempat yang utama dalam mempertemukan pribadi seseorang dengan Allah. Iman mempererat hubungan seseorang dengan Allah yang adalah Sang Pemberi hidup.
Hubungan itu bersifat pribadi karena melibatkan dua pribadi. Seseorang akan mampu mengenal Allah sebagai pribadi lain, karena Ia akan memperkenalkan diri-Nya. Proses perkenalan diri itulah yang disebut dengan wahyu dari pihak Allah dan iman dari pihak manusia. (Rom 10:6-8). Dalam doa itu, seseorang dapat menyadari dirinya sebagai ciptaan yang terbatas, dan terus berusaha untuk menyatukan keterbatas dirinya itu dengan semua yang telah ia alami dan memasrahkannya kepada Allah yang sudah ia temukan dalam doa-doanya.
Allah adalah cinta yang tidak terbatas, cinta yang abadi, cinta yang melampaui apa yang dipikirkan oleh manusia. Ketika menciptakan dunia, Allah telah lebih dulu ada dalam kodrat-Nya sebagai cinta yang tak terbatas. Maka syukarlah ketika manusia mulai bertanya tentang keberadaan Allah, saat sesuatu hal buruk terjadi bagi dirinya. Kesadarannya mencari Allah saat mengalami derita, memperlihatkan bahwa manusia itu membutuhkan Pribadi sempurna untuk mengeluarkannya dari situasi derita yang melandanya. Manusia yang bertanya menandakan bahwa ia terbatas. Oleh karena itu sebagai ciptaan yang perlu dibangun dalam diri ialah hidup seturut apa yang dikehendaki oleh Allah agar dengan demikian manusia bisa mencapai kepenuhannya dalam Allah yang telah menciptakannya, “Kami ini hamba-hamba yang tak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk 17: 10). Seperti yang dikatakan juga oleh St. Bonaventura, “semua realitas ciptaan merupakan tanda petunjuk yang memberitahu kita kemana kita harus pergi”, kalau kita ingin mengenal Allah, pengenalan itu diibaratkan seperti membaca sebuah buku. “Dunia itu seperti sebuah buku. Jika buku itu dapat dibaca, ia akan mengarahkan pembacanya kepada Allah. Namun terkadang kesombongan dan egoisme manusia membawa kegelapan ke dalam dunia sehingga buku tersebut tidak dapat dibaca. Hanya jika kita membiarkan diri kita diterangi oleh Allah dengan penuh perhatian dan refleksi yang mendalam, maka cahaya itu diberikan sehingga buku penciptaan itu dapat dibaca”.
Ketika kita bertanya mengenai keberadaan Allah, itu adalah rana kita sebagai manusia yang terbatas dengan mengandalkan rasio, tetapi hal ini tidak cukup bahkan tidak mampu menjawab. Kita harus menyadari diri sebagai ciptaan yang tidak akan perna sama secara total dengan Sang Pencipta, maka untuk mengenal Allah, kita perlu untuk masuk kedalam diri sendiri dalam keheningan doa dan kontemplasi, biarkanlah diri kita dituntun oleh-Nya, dengan demikian kita akan menemukan Dia, dalam hal kongkret yang ada dalam pengalaman kehidupan kita .
“Aku tidak menghendaki agar orang jahat binasa, tetapi agar dia berbalik dari kejahatannya dan memperoleh hidup” (Yeh 33:11). “Jikalau kamu tidak bertoban, kamu semua akan binasa dengan cara demikian” (Luk 13:5). Dalam perumpamaan tentang pohon ara di kebun anggur, Yesus menyuruh tukang kebun untuk menebang pohon itu, tetapi tukang kebun menawar untuk tuannya itu sabar menunggu satu tahun lagi mungkin tahun depan ia akan berbuah. Dari sini kita mengerti bahwa Allah itu Maha pengesih. Allah selalu memberikan kesempatan kepada orang yang berdosa untuk bertobat dari perbuatannya yang jahat akibat kebebasan yang ada padanya dan kembali kepada-Nya. Tuhan adalah cinta yang sesungguhnya. Ia selalu membuka diri-Nya agar kita mengerti akan cinta-Nya. Kita selalu diberi kesempatan untuk bertobat dan menjauhi dosa dan mengubah cara hidup kita. Kita selalu diajak untuk menjadi orang-orang yang dewasa dalam iman dan dengan demikian kita mempu mencintai Allah dalam kehidupan kita sehari-hari (Ef 4:7-16).
Penulis : Sdr. Sever Welafubun, Ofm
Editor : Admin