Petuah-Petuah St. Fransiskus
(1)Tuhan Yesus berfirman kepada murid-murid-Nya: Aku adalah jalan, kebenaran dan kehidupan; tak seorang pun datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku. (2)Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu telah mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia. (3)Kata Filipus kepadanya: Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami. (4)Kata Yesus kepadanya: Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Filipus, siapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa-Ku juga. (5)Bapa mendiami terang yang tak terhampiri, dan Allah itu Roh, dan tidak seorang pun yang pernah melihat Allah. (6)Ia hanya dapat dilihat dalam Roh, karena Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. (7)Tetapi Putra[1] juga, karena Ia sama dengan Bapa, tidak dapat dilihat seseorang dengan cara lain dari Bapa, dengan cara lain dari Roh Kudus. (8)Karena itu terkutuklah semua orang yang dahulu melihat Tuhan Yesus menurut ke manusiaan[2] tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa Dia adalah sungguh-sungguh Putra Allah. (9)Juga terkutuklah semua orang yang kini melihat sakramen, yang dikuduskan oleh finnan Tuhan di atas altar melalui tangan imam dalam rupa roti dan anggur, tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa itu benar-benar tubuh Tuhan dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; (10)Yang Mahatinggi sendiri memberi kesaksian tentang hal itu dengan berfirman: Inilah tubuh-Kudandarahperjanjian-Ku yang baru (yang ditumpahkan bagi banyak orang); (11)dan: Siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal. (12)Maka Roh Tuhan yang bersemayam di dalam orang beriman-Nya, Dialah yang menyambut tubuh dan darah Tuhan Yang Mahakudus. (13)Semua lainnya yang tidak memiliki bagian Roh itu dan berani menyambut Dia, makan dan minum hukuman atas dirinya sendiri. (14)Oleh karena itu: Hai kamu anak-anak manusia, sampai berapa lama lagi kamu bertegar hati? (15)Mengapa kamu tidak mengakui kebenaran dan tidak percaya kepada Putra Allah? (16)Lihatlah, setiap hari la merendahkan diri[3], seperti tatkala la turun dari takhta kerajaan ke dalam rahim Perawan; (17)Setiap hari la datang kepada kita, kelihatan rendah; (18)setiap hari la turun dari pangkuan Bapa ke atas altar di dalam tangan imam. (19)Seperti dahulu la tampak pada para rasul dalam daging yang sejati, demikian juga kini la tampak pada kita dalam roti kudus.[4] (20)Mereka, dengan pandangan mata jasmaniahnya, hanya melihat daging-Nya saja;[5] tetapi dengan pandangan mata rohaniahnya, mereka percaya, bahwa Dia adalah Allah. (21)Demikian juga kita, dengan mata badaniah kita yang kita lihat adalah roti dan anggur; tetapi hendaklah kita melihat dan percaya dengan teguh, bahwa itu adalah tubuh dan darah- Nya yang mahakudus, yang hidup dan benar. (22)Cara demikianlah yang dipakai Tuhan untuk selalu menyertai orang-orang yang percaya kepada-Nya, sebagaimana la sendiri berfirman: Ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman. [1]Jadi, Putra juga hanya dapat dilihat “dalam Roh”,seperti dikatakan mengenai Bapa dalam Ayat 6. Artinya hanya orang yang memiliki Roh Tuhanlah yang mampu mengenal Allah, Bapa, Putra dan Roh Kudus. [2]“melihat … menurut kemanusiaan” dan “tidak melihat …menurut Roh dan keallahan”, artinya melihat Yesus hanya sebagai manusia saja, tanpa mengimani-Nya sebagai Putra Allah. [3]Tema “Perendahan diri Allah” menarik Fransiskus secara istimewa. Tema ini diungkapkan secara lebih mengesankan lagi dalam SurOr 27-28. Lihat juga 2SurBerim 4-5. [4]Penegasan Fransiskus mengenai reatitas Yesus sejarah dan Kristus yang hadir dalam Ekaristi lebih dipahami bobotnya bila orang ingat akan gerakan-gerakan bidaah yang tersebar melalui Katarisme dan bidaah Berangar dari Tours. Inti ajarannya bersifat dualisms, yaitu prinsip roh dan materi yang selalu bertentangan, sebagai pertentangan antara yang baik dengan yangjahat. Maka Yesus Kristus, yang Allah adanya (Roh), tidak mungkin mempunyai badan insani (materi), dan tidak mungkin sungguh hadir dalam bahan-bahan Ekaristi. [5]”hanya melihat daging-Nya saja”, artinya hanya mengenal Dia sebagai manusia saja.
(1)Tuhan berfirman kepada Adam: Semua pohon boleh kamu makan buahnya, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya. (2)Ia boleh makan dari semua pohon di firdaus karena selama dia tidak bertindak melawan ketaatan, dia memang tidak berdosa. (3)Orang yang makan dari pohon pengetahuan tentang yang baik, ialah ia yang menganggap kehendaknya sebagai miliknya sendiri[1] dan menyombongkan diri atas apa yang baik, yang diucapkan dan dikerjakan Tuhan di dalam dirinya; (4)dengan demikian, karena bujukan setan dan pelanggaran perintah, buah itu menjadi buah pengetahuan tentang yang jahat. (5)Karena itu, patutlah ia menanggung hukuman. [1]“menganggap kehendaknya sebagai miliknya sendiri”. Dipakai istilah Latin “appropriare” yang menunjuk sikap yang berlawanan dengan kemiskinan, karena selalu berusaha menimbun milik untuk diri sendiri; lht AngTbul XVII:4+; AngTBul VI: 1. Ketaatan dilihat di sini sebagai ungkapan kemiskinan, karena orang melepaskan kehendak sendiri. Sebaliknya, tidak taat berlawanan dengan kemiskinan karena orang mempertahankan kehendak sendiri sebagai harta milik yang begitu disayangi, sehingga tidak dilepaskan. Sikap itu merupakan kesombongan dan keserakahan yang menghalangi turun tangan Allah.
(1)Tuhan berfirman dalam Injil: Siapa yang tidak melepaskan diri dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku, (2)dan lagi: Siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya[1]. (5)Kalaupun bawahan pernah melihat hal-hal yang lebih baik dan lebih berguna bagi jiwanya daripada yang diperintahkan atasan kepadanya, hendaklah ia dengan rela mengurbankan pendapatnya sendiri bagi Allah; dan hendaklah ia berusaha melaksanakan apa saja yang diperintahkan oleh atasannya. Sebab, itulah ketaatan penuh kasih, karena menyenangkan Allah dan sesama. (7)Akan tetapi kalau atasan memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan keselamatan jiwanya, maka meskipun ia tidak boleh menaatinya, namun janganlah ia memisahkan diri dari atasannya itu. (8)Jika hal itu menyebabkan ia dikejar-kejar, maka hendaklah ia lebih lagi mencintai mereka demi Allah. (9)Sebab siapa yang lebih suka menanggung pengejaran daripada terpisah dari saudara-saudaranya, ia sungguh-sungguh bertahan dalam ketaatan yang sempurna, karena ia memberikan nyawanya bagi saudara-saudaranya. (10)Memang ada banyak religius, yang dengan dalih melihat hal-hal yang lebih baik daripada yang diperintahkan atasannya, menoleh ke belakang dan kembali ke muntahan kehendaknya sendiri. (11)Mereka itu pembunuh, dan karena teladan mereka yang buruk itu, mereka menyebabkan banyak jiwa binasa. [1]”kehilangan nyawanya”, harfiah: kehilangan badannya, yaitu ke-aku-an, yang menyebabkan orang menganggap dirinya sebagai pusat kehidupannya. Ketaatan penuh berarti kesediaan untuk meninggalkan kecenderungan yang egoistis itu. “Di dalam tangan atasannya”: simbol, yang dipakai dalam upacara prasetia yang menandakan perendahan diri bawahan terhadap atasannya untuk mematuhi kehendaknya. Bdk ICel 45. [2]Hubungan dengan ayat-ayat berikut secara logis demikian: “Tetapi mungkin saja terjadi konflik, entah mengenai pilihan perbuatan sendiri (pemecahannya Ayat 5-6), atau mengenai nilai moralnya (pemecahannya Ayat 7-9).”
(3)Orang meninggalkan segala miliknya dan kehilangan nyawa bila ia menyerahkan dirinya sepenuhpenuhnya untuk taat di dalam tangan atasannya. (4)Apa pun yang dibuat dan dikatakannya, merupakan ketaatan yang sejati, asalkan hal itu baik dan, setahu dia, tidak bertentangan dengan kehendak atasannya[2].
(1)Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, firman Tuhan. [1]“mengumpulkan bagi dirinya kekayaan”, secata harfiah berbunyi: “membuat pundi-pundi bagi diri sendiri”. Menganggap tugas memimpin sebagai milik, dilihat Fransiskus sebagai sikap menimbun kekayaan bagi diri sendiri. Jadi, berlawanan dengan kemiskinan yang sejati. Kata “pundi-pundi” mengacu jelas kepada Yudas, yang disebut pencuri dan pengkhianat. Lht juga AngTBul VIII:7 dan LegMaj VII:2.
(2)Mereka yang ditetapkan sebagai atasan bagi yang lain, tidak boleh lebih berbangga atas tugas pimpinan itu daripada kalau mereka diberi tugas membasuh kaki saudara-saudara. (3)Semakin mereka lebih gelisah karena kehilangan tugas pimpinan daripada karena kehilangan tugas mencuci kaki, semakin mereka menggumpulkan bagi dirinya kekayaan[1] yang membahayakan jiwa.
(1)Ingatlah, hai manusia, betapa unggulnya kedudukan yang diberikan Tuhan Allah kepadamu: Ia telah menciptakan dan membentuk engkau sesuai dengan gambar Putra-Nya yang terkasih menurut badan, dan sesuai dengan keserupaan-Nya menurut roh. [1]Tema ini dikembangkan secara dramatis dalam adegan yang terkenal tentang “sukacita yang sejati” dalam Fioretti, Pasal 8.
(2)Akan tetapi semua makhluk di bawah kolong langit, sesuai dengan kodratnya, mengabdi, mengakui dan menaati Penciptanya lebih baik daripada engkau. (3)Bahkan setan-setan pun tidak menyalibkan Dia; tetapi engkau bersama mereka sudah menyalibkan Dia, dan engkau masih menyalibkan Dia dengan mencari kenikmatan dalam cacat cela dan dosa-dosa.
(4)Karena itu, apa yang dapat kaubanggakan?
(5)Bahkan kalau engkau demikian arif dan bijaksana, sehingga engkau memiliki seluruh pengetahuan, bisa menafsirkan segala macam bahasa dan dapat menyelami perkara-perkara surgawi dengan cermat, engkau tetap tidak dapat berbangga atas semuanya itu[1]. (6)Sebab setan saja lebih tahu tentang perkara-perkara surgawi, dan lebih tahu tentang perkara-perkara duniawi daripada semua manusia, walaupun mungkin ada orang yang menerima dari Tuhan pengetahuan istimewa tentang kebijaksanaan yang tertinggi. (7)Juga seandainya engkau lebih bagus dan lebih kaya daripada semua orang dan bahkan seandainya engkau membuat keajaiban sehingga mampu mengusir setan-setan, semuanya itu tidak termasuk dirimu dan sama sekali bukan milikmu; maka atas semuanya itu engkau tidak dapat berbangga sedikit pun.
(8)Atas hal ini kita dapat berbangga: atas kelemahan-kelemahan kita dan setiap hari memikul salib suci Tuhan kita Yesus Kristus.
(1)Marilah, saudara sekalian, kita memandang Gembala Baik yang telah menanggung sengsara salib untuk menyelamatkan domba-domba-Nya. [1]Tema petuah ini lazim bagi Fransiskus: mengikuti Kristus dalam rupa yang paling hina dan direndahkan; lht AngTBut XXII: 1-3. Bila orang mau mencari jejak sejarah Petuah ini, perlu diingat bahwa ketika Fransiskus mendengar berita kemartiran lima saudara di Maroko, ia terkejut melihat bahwa sejumlah pengikutnya bermegah-megah karena hal itu, maka dia melarang mereka untuk bermegah atas kesengsaraan orang lain (Giordano da Giano, Cronica, 8).
(2)Domba-domba Tuhan telah mengikuti Dia dalam kemalangan dan pengejaran, dalam penistaan dan kelaparan, dalam sakit dan cobaan, dan lain seba gainya. Karena semuanya itu mereka telah menefima dari Tuhan kehidupan abadi.
(3)Oleh sebab itu memalukan sekali bagi kita, hamba-hamba Allah, karena para kudus yang telah melakukan karya-karya itu, sedangkan kita, yang hanya menceritakan karya-karya para kudus, ingin mendapat kemuliaan dan hormat[1].
(1)Rasul berkata: Huruf mematikan, tetapi Roh menghidupkan. [1]sebagai milik diri sendiri”, harfiah “badan”. Ungkapan “badan” (seperti “daging” dan “dunia”) sering dipakai Fransiskus dengan arti “si aku”, kecenderungan cinta diri dan egoisme yang amat kuat dalam diri setiap orang. “mengembalikan”: istilah ini, yang sering dipakai Fransiskus, mengungkapkan dasar kemiskinannya: manusia yang miskin, menerima segalanya dari Tuhan, dan harus mengembalikannya lagi kepada-Nya, agar ia tetap miskin dan bergantung kepada Dia selalu. Lht juga AngTBul XVII:17; PujIb 11.
(2)Orang yang mati oleh huruf, ialah mereka yang hanya ingin mengetahui kata-kata semata-mata agar dianggap lebih bijaksana di antara orang lain, dan agar dapat memperoleh banyak kekaya an untuk diberikan kepada sanak-saudara dan sahabat-sahabat.
(3)Para religius yang mati oleh huruf, ialah mereka yang tidak mau mengikuti roh kitab suci, tetapi hanya ingin mengetahui kata-kata saja dan menafsirkannya bagi orang lain.
(4)Tetapi orang yang dihidupkan oleh roh kitab sucl, ialah mereka yang tidak menganggap setiap huruf yang mereka ketahui atau ingin mereka ketahui sebagai milik diri sendiri[1], tetapi mengembalikannya kepada Tuhan Allah Yang Mahatinggi, pemilik segalanya yang baik, baik dengan kata-kata maupun dengan teladan mereka.
(1)Rasul mengatakan: Tidak seorang pun yang dapat mengaku: “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus; (2)dan: Tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak
(3)Karena itu, siapa yang iri hati ter.iadap saudaranya karena Tuhan mengatakan dan mengerjakan yang baik dalam diri saudara itu, ia terkena dosa hujatan karena ia iri hati kepada Yang Mahatinggi sendiri, yang mengucapkan dan mengerjakan semua yang baik.
(1)Tuhan berfirman: Kasihilah musuhmu[1] (berbuatlah baik bagi mereka yang membenci kamu, dan berdoalah bagi mereka yang mengejar dan menganiaya kamu). [1]Dalam banyak naskah hanya dikatakan “Kasihilah musuhmu” dst.
(2)Orang yang benar-benar mengasihi musuhnya, ialah dia yang tidak sedih karena kelaliman yang dibuat musuh terhadap dirinya; (3)tetapi demi cintakasih Allah, ia tersiksa hatinya karena dosa dalam jiwa musuhnya itu. (4)Kepadanya hendaklah ia menunjukkan cintakasihnya itu dengan perbuatan.
(1)Banyak orang cenderung untuk mempersalahkan setan atau sesama kalau mereka jatuh dalam dosa atau mengalami kelaliman. (2)Padahal tidak demikian; sebab setiap orang mempunyai musuh dalam wilayah kekuasaannya sendiri, yaitu badan[1], yang menyebabkan ia jatuh dalam dosa. [1]”badan” dapat diterjemahkan juga “egoisme” atau “kecenderungan yang rendah”
(3)Maka berbahagialah hamba yang senantiasa menjaga musuh itu sebagai tawanan yang diserahkan ke dalam kekuasaannya dan dengan bijaksana melindungi diri terhadapnya. (4)Sebab selama ia berbuat demikian, tidak akan ada musuh lainnya, baik yang kelihatan maupun tak kelihatan, yang dapat merugikan dirinya.
(1)Seorang hamba Allah tidak boleh merasa muak terhadap apa pun, selain terhadap dosa. (2)Bila ada orang berbuat dosa, entah bagaimanapun, dan hal itu menyebabkan hamba Allah itu menjadi gelisah dan gusar, tetapi bukan karena terdorong oleh cintakasih, maka ia menimbun kesalahan bagi dirinya sendiri. [1]”hidup tanpa milik”: kemiskinan di sini berarti bebas dari semua ketekatan pada diri sendiri, dan dari sikap menganggap diri mempunyai “hak” untuk mengadili orang lain. Gusar dan gelisah merupakan tanda, bahwa orang merasa diri lebih bersih, lebih sempurna, lebih “kaya” daripada orang lain.
(3)Seorang hamba Allah, yang tidak gusar dan gelisah karena orang lain, benar-benar hidup tanpa milik.[1]
(4)Berbahagialah orang, yang tidak menahan sesuatu pun bagi dirinya sendiri, tetapi mengembalikan kepada kaisar apa yang merupakan milik kaisar, dan kepada Allah apa yang merupakan milik Allah.
(1)Beginilah diketahui apakah seorang hamba Allah memiliki bagian Roh Tuhan: (2)apabila Tuhan menreriakan sesuatu yang baik dengan perantaraannya, dagingnya tidak memegahkan diri karenanya, sebab daging[1] itu memang selalu bertentangan dengan semua yang baik; (3)sebaliknya hamba Allah itu malah memandang dirinya lebih hina dan menilai dirinya lebih rendah[2] daripada semua orang lainnya. [1]Istilah “daging” (= caro) di sini berarti manusia sendiri, sejauh mana menjadikan dirinya “pusat” segala-galanya, dengan akibatnya ialah kesombongan.
[2]”lebih rendah” (= minor) adalah cita-cita injili Fransiskus, yang juga tercermin dalam sebutan “Frater Minor” bagi semua saudara; lht AngTBul VI: 3.
(1)Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Petuah XIII sampai XXVIII (dengan kekecualian Pth XXVII) mulai dengan seruan “Berbahagialah”. Tema “Sabda Bahagia” di sini dikenakan pada para “hamba” Allah, yang dalam tulisan Fransiskus berarti orang yang menjalankan hidup injili. Ungkapan itu sendiri sudah lazim dipakai misalnya dalam Peraturan Hidup Santo Benediktus.
(2)Selama segalanya berjalan, seorang hamba Allah tidak dapat mengetahui, sejauhmana ia memiliki kesabaran dan kerendahan hati. (3)Akan tetapi bila datang saatnya, ketika orang-orang yang seharusnya memperlakukan dia dengan baik justru berlaku sebaliknya terhadap dia, maka [waktu itulah dapat diketahui berapa besar kesabaran dan kerendahan hatinya;] sejauh yang nyata ada padanya pada waktu itu, sebesar itu pulalah yang dimilikinya dan tidak lebih.
(1)Berbahagialah orang yang miskin dalam roh, karena merekalah yang empunya kerajaan surga.
(2)Ada banyak orang yang rajin sekali berdoa dan beribadat, dan sekaligus banyak berpantang dan bermatiraga. (3)Akan tetapi mereka sudah merasa kesal hati dan segera gelisah, entah karena sepatah kata saja yang mereka rasakan sebagai kelaliman terhadap dirinya, atau karena barang sesuatu yang diambil orang dari mereka. (4)Mereka itu tidak miskin dalam roh; sebab siapa yang sungguh miskin dalam roh, membenci dirinya sendiri dan mengasihi mereka yang menampar pipinya.
(1)Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
(2)Orang yang dalam segala penderitaannya di dunia ini tetap memelihara kedamaian dalam jiwa dan raganya demi cintakasih kepada Tuhan kita Yesus Kristus, mereka itu sungguh-sungguh pembawa damai.
(1)Berbahagialah orang yang suci hatinya karena mereka akan melihat Allah. [1] “kesucian atau kemurnian hati” dimaksudkan sebagai sikap yang lepas dan bebas secara sempurna untuk menyembah Allah karena sudah bebas dan lepas dari semua ikatan “daging”. Tidak melekat pada dunia dan pada diri sendiri merupakan syarat untuk dapat mengarahkan diri sepenuh-penuhnya kepada Allah, dengan kata lain untuk dapat mengabdi-Nya dengan hati yang suci murni.
(2)Orang yang meremehkan barang-barang duniawi dan mencari barang-barang surgawi, serta tidak pernah berhenti menyembah dan memandang Tuhan Allah yang hidup dan benar dengan hati dan jiwa yang murni[1], mereka itu sungguh-sungguh suci hatinya.
(1)Berbahagialah hamba, yang tidak lebih bermegah-megah atas kebaikan yang diucapkan dan dikerjakan Tuhan dengan perantaraannya sendiri, daripada atas apa yang diucapkan dan yang dikerjakan Tuhan dengan perantaraan orang lain. (2)Berdosalah orang, yang mau menerima dari sesamanya, padahal tidak mau memberi sesuatu pun dari dirinya sendiri kepada Tuhan Allah.
(1)Berbahagialah orang, yang sabar menerima sesamanya dalam kelemahannya, sebagaimana ia pun ingin diterima oleh sesamanya dengan sabar, sekiranya ia sendiri berada dalam keadaan serupa.
(2)Berbahagialah hamba, yang menyerahkan kembali semua yang baik kepada Tuhan Allah; sebab siapa menahan sesuatu bagi diri sendiri, ia menyembunyikan uang Tuhan Allahnya di dalam dirinya, maka apa yang pada sangkanya dimilikinya, akan diambil darinya.
(1)Berbahagialah hamba, yang tidak menganggap dirinya lebih baik apabila ia dipuji dan dihormati orang, daripada apabila dipandang hina, bodoh dan nista. (2)Sebab, seperti apa nilai seseorang di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih.
(3)Celakalah religius, yang diberi kedudukan tinggi oleh orang lain, dan tidak mau turun atas kehendaknya sendiri. (4)Akan tetapi berbahagialah hamba, yang diberi kedudukan tinggi bukan atas kehendaknya sendiri, dan selalu ingin menjadi tumpuan kaki orang lainnya.
(1)Berbahagialah religius, yang hanya menemukan kegirangan dan sukacita di dalam firman dan karya Tuhan yang tersuci, (2)dan menggunakannya untuk membuat orang lain mengasihi Allah dengan gembira dan sukacita.
(3)Celakalah religius, yang mencari kesenangan di dalam kata-kata yang kosong dan lelucon yang hampa, dan memanfaatkannya untuk membuat orang-orang tertawa.
(1)Berbahagialah hamba, yang bila berbicara, tidak memamerkan segala yang dipunyainya sebagai kedok suatu upah dan tidak cepat mengeluarkan kata-kata, tetapi menimbang dengan bijaksana katakata yang harus diucapkan danjawaban yang harus diberikannya.
(2)Celakalah religius, yang bukannya menyimpan di dalam hatinya semua yang baik yang dinyatakan Tuhan kepadanya, dan bukannya memperlihatkannya kepada orang lain dengan perbuatan, tetapi malah lebih suka memamerkannya kepada orang-orang dengan kata-kata, sebagai kedok bagi suatu imbalan. (3)Dia sendiri sudah mendapat upahnya, dan mereka yang mendengarkannya tidak memetik banyak buah.
(1)Berbahagialah hamba, yang menerima peringatan, tuduhan dan teguran, yang disampaikan orang lain, dengan begitu sabamya seperti kalau dari dirinya sendiri datangnya.
(2)Berbahagialah hamba, yang menerima dengan rela bila ditegur, menurut dengan penuh hormat, mengakui kesalahan dengan rendah hati, dan mengadakan pemulihan dengan senang hati.
(3)Berbahagialah hamba, yang tidak cepat memaafkan dirinya sendiri, dan yang dengan rendah hati menanggung permaluan dan hardikan mengenai suatu dosa, padahal ia tidak berbuat salah.
(1)Berbahagialah hamba, yang di antara bawahannya, temyata tetap rendah hati, seperti kalau ia berada di antara tuan-tuannya.
(2)Berbahagialah hamba, yang selalu bersedia menerima cambuk teguran.
(3)Hamba yang setia dan bijaksana ialah orang, yang setiap kali melukai orang, tidak menunda-nunda menghukum dirinya dalam batin melalui penyesalan, dan secara lahiriah dengan pengakuan dan pemulihan nyata.
(1)Berbahagialah hamba, yang dengan kasih yang besar mengasihi saudaranya yang sakit, dan yang karena sakit tidak mampu membalas budi baiknya, sama seperti kalau saudaranya itu sehat sehingga dapat membalas budi baiknya.
(1)Berbahagialah hamba, yang secara mendalam mengasihi dan menyegani saudaranya yang jauh darinya, sama seperti kalau saudara itu berada di dekatnya; dan di belakangnya tidak akan mengatakan sesuatu, yang pasti tidak akan dikatakannya dalam suasana kasih kalau berhadapan muka dengannya.
(1)Berbahagialah hamba, yang menaruh kepercayaan kepada para rohaniwan, yang hidup tepat menurut peraturan Gereja Roma. (2)Akan tetapi celakalah orang yang meremehkan mereka. Sebab sekalipun mereka itu pendosa, namun tidak seorang pun boleh menghakimi mereka, karena semata-mata Tuhanlah yang mengkhususkan mereka bagi diri-Nya untuk dihakimi. (3)Sebab semakin luhur tugas pelayanan mereka berkenaan dengan tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus, yang mereka sambut dan hanya mereka sendiri boleh menghidangkannya kepada orang lain, (4)maka semakin berat pulalah dosa yang dibuat orang terhadap mereka, lebih berat daripada dosa yang dibuat terhadap semua orang lainnya di dunia ini.
(1)Dimana ada cintakasih dan kebijaksanaan, di situ tidak ada ketakutan dan kepicikan.
(2)Di mana ada kesabaran dan kerendahan hati, di situ tidak ada amarah dan kegelisahan.
(3)Di mana ada kemiskinan bersama sukacita, di situ tidak ada ketamakan dan kekikiran.
(4)Di mana ada ketenangan dan samadi, di situ tidak ada kecemasan dan kebingungan.
(5)Di mana ada takwa pada Tuhan untuk menjaga pelataran-Nya, di situ tidak mungkin ada jalan masuk bagi musuh.
(6)Di mana ada belaskasihan dan timbang-menimbang, di situ tidak ada yang berlebihan dan ketegaran.
(1) Berbahagialah hamba yang mengumpulkan sebagai harta di surga, apa yang baik yang dianugerahkan Tuhan kepadanya dan yang tidak ingin dipamerkannya kepada orang-orang sebagai kedok bagi suatu imbalan, (2) sebab Yang Mahatinggi sendiri akan menyatakan karya-karyanya kepada siapa pun juga Ia berkenan. (3) Berbahagialah hamba, yang menyimpan rahasia-rahasia Tuhan di dalam hatinya.