Dialog Santo Fransiskus dari Asisi dan Dialog Papua
Dialog Santo Fransiskus dari Asisi dan Dialog Papua
Kata “dialog” sekarang ini dibelokkan oleh para politisi, penggiat perdamaian, pegawai pemerintahan, dan penguasa lokal. Filsuf Yunani kuno menulis banyak dialog dan menggunakan dialog sebagai suatu metode untuk menemukan dan menyingkapkan kebenaran. Dalam Konsili Vatikan II (1962-1965) ditekankan aspek dialog dengan sebuah kesepakatan bersama. Suatu Zaman Baru telah mulai dalam dialog; antara denominasi Kristen dan iman lainnya, antara umat beriman dan masyarakatnya. Namun, semua ini menuntut kita untuk sepantasnya memahami apa yang kita maksudkan bila berbicara tentang “dialog” sekarang ini.
Kiranya baik untuk mulai melihat apa yang tidak termasuk dialog. Hal ini membantu kita untuk mengerti arti sebenarnya dari dialog sekarang ini. Dengan mengamati sejumlah unsur dialog kita akan melihat arti dialog sebenarnya pada dunia kita sekarang ini (Service For Diaolgue, Roma 2015). Dialog tidak berasal dari kepedulian-kepedulian taktis ataupun dari kepentingan diri sendiri, melainkan suatu kegiatan yang memiliki prinsip-prinsip penuntun, tuntutan-tuntutan dan kelayakannya sendiri. Dialog dituntut oleh suatu rasa hormat yang mendalam akan segala sesuatu yang telah dihasilkan dalam diri umat manusia oleh Roh yang bertiup kemana saja dikehendaki-Nya (Redemptoris Hominis 12). Melalui dialog, Gereja berusaha menemukan “benih-benih Sabda” (Ad Gentes 11.15) suatu percikan sinar yang “memantulkan cahaya Kebenaran, yang menerangi semua manusia” (Nostra Aetate 2), hal-hal ini ditemukan dalam individu-individu dan tradisi-tradisi keagamaan umat manusia.
Dialog Fransiskus dari Asisi dengan Sultan
Tahun 1219, suasana sangat mencekam di muara sungai Nil. Penduduk kota Damieta tak bisa beraktivitas dengan nyaman dan aman. Kota mereka telah terkepung, sehingga kematian karena kelaparan sepertinya hanyalah awal dari penderitaan sebelum tentara salib pimpinan Kardinal Pelagius menyerbu dan masuk membinasakan kota itu. Di tengah suasana Perang Salib Kelima ini (1217-1221), seorang biarawan berpakaian compang-camping tanpa beralas kaki nekat melintasi perbatasan Mesir, meski telah dilarang oleh Pelagius. Bersama temannya, biarawan ini tetap teguh untuk menyampaikan misi perdamaian kepada Sultan Malik al-Kamil.
Santo Fransiskus (kemudian dikenal dengan nama Santo Fransiskus dari Assisi) dan bruder Illuminatus berhasil melewati perbatasan yang sudah masuk dalam zona perang pada 1219. Mereka ditangkap dan dihadapkan kepada sultan. Keberanian Fransiskus menembus zona perang yang membahayakan nyawanya; apalagi sebagai seorang biarawan Kristen, tentu menjadi target utama tentara lawan yang saat itu memang dalam kondisi perang dengan pasukan salib–merupakan tindakan yang tidak dapat diterima secara akal sehat. Itulah sebabnya ia berulang kali dicegat oleh Kardinal Pelagius agar mengurungkan niatnya menemui sultan (Thomas Celano, Riwayat Hidup Santo Fransiskus).
Bahkan, berbagai macam propaganda tentara salib tentang Sultan Malik al-Kamil seperti ‘binatang yang kejam’ dan ‘memutilasi musuh yang tertawan’ sengaja dibuat untuk menggambarkan kekejaman tentara Islam yang pantas untuk dimusnahkan. Bayangan tentang ‘kekejaman’ itu tak menyurutkan semangat Fransiskus untuk menjalankan misi diplomasi damainya.
Apa yang menjadi kekhawatiran dari dunia Kristen tentang watak Sultan Malik al-Kamil sungguh berbeda dengan apa yang dialami Fransiskus sewaktu dihadapkan dengan sang sultan. Di Mesir, Sultan Malik al-Kamil justru terkenal dengan toleransinya terhadap minoritas, termasuk kepada pemeluk agama Kristen. Fransiskus memohon untuk berdialog dengan sultan tentang perdamaian. Sultan yang dicap negatif oleh dunia Kristen saat itu, ternyata lembut dan sangat bijaksana, sehingga mau mendengarkan biarawan miskin dan hina-dina itu.
Dialog Papua
Apakah dialog perlu terjadi di Papua? Apakah dialog sebagai tuntutan hidup yang harus dilaksanakan? Mari kita jawab bersama-sama.
Persoalan lain adalah substansi dialog. Ada kesenjangan yang sangat lebar antara Jakarta dan Papua dalam hal status politik Papua yang ditetapkan dalam Resolusi PBB 2504. Resolusi ini tidak diakui oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Status politik Papua telah berubah menjadi ideologi untuk memisahkan diri dari Indonesia. Bagi OPM, Papua merdeka sejak 1 Desember 1961, sehingga OPM hanya mau menawarkan referendum (Tempo, 5 September 2019).
Konferensi Damai di Universitas Cenderawasih, 5-7 Juli 2011, adalah puncak kegiatan konsultasi publik kelompok Jaringan Damai Papua (JDP). Acara tersebut merupakan upaya mencari jalan untuk mewujudkan perdamaian abadi di Tanah Papua. Diskusi berjalan panas ketika menyangkut empat hal (fasilitator, mediator, bahasa, dan syarat juru runding). Melalui proses yang alot, keempat hal disepakati, kecuali satu: siapa yang menjadi juru runding. Konferensi pun gagal.
Dalam buku Merajut Harmoni Membangun Papua, saya mencermati dan mengupas struktur masyarakat Papua. Dengan 252 suku dan gereja yang banyak, struktur masyarakat Papua tidak berbentuk kerucut (piramida). Setiap suku di Papua bersifat otonom. Tidak ada satu pun suku yang dapat mensubordinasi suku lainnya.
Belum lagi hubungan yang rentan di antara kelompok-kelompok bersenjata yang jumlahnya tidak sedikit dan tidak satu komando: Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan kelompok yang melakukan perlawanan dari luar negeri, seperti United Liberation Movement for West Papua, West Papua National Coalition for Liberation, dan Federal Republic of West Papua.
Kondisi inilah yang menjadi kesulitan utama dalam menentukan wakil Papua. Dalam pertemuan di Istana, 1 Februari 2011, ada 12 tokoh gereja yang dimotori Pastor Neles Tebay ditantang SBY untuk menyiapkan dialog Papua. Sampai akhir masa bakti pemerintahan Presiden SBY 2014, tantangan itu tidak terjawab. (Tempo, 5 September 2019). Bahkan sampai beliau kembali ke pangkuan Allah di Surga, persoalan ini masih menyimpan sejuta misteri.
Dialog membutuhkan iklim dan lingkungan yang pas, dan dia memiliki hukumnya sendiri yang perlu dipelajari. Di sini terdapat beberapa panduan praktis yang kiranya membantu. Dialog tidak dibuat atas dasar kepentingan, golongan, keutuhan NKRI ataupun alasan lainnya. Dialog harus dilihat sebagai sebuah tuntutan hidup. Artinya:
Pertama, karena dialog merupakan komunikasi rohani, pihak lain harus dilihat sebagai pribadi yang pantas untuk didengar. “akar sebab untuk keluhuran manusia terletak pada panggilannya menuju persekutuan dengan Allah” (Gaudium et Spes 19). Jika Allah mengambil laki-laki dan wanita secara sungguh-sungguh dan ingin memanggil mereka semua, tanpa mengecualikan seorang pun, untuk bersatu dengan Dia, kita harus juga percaya pada orang dan kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan-kemampuan mereka, agar dapat berdialog dengan mereka. Tidak semua ide memiliki nilai yang sama, tetapi semua orang ya. Manusia memiliki nilai yang tak terhingga;
Kedua, untuk menetapkan dialog kita harus percaya bahwa hal itu mungkin, di atas dan melampaui perbedaan-perbedaan. Asumsi dasar yang harus kita pegang adalah keyakinan bahwa kebenaran itu ada, dan bahwa setiap laki-laki dan wanita dapat mencapainya. Tidak ada masalah-masalah komunikasi yang tak dapat dipecahkan, kecuali sikap penolakan yang keras untuk maju. Ras, budaya, gender, bahasa atau umur bukan merupakan halangan untuk berdialog. Kodrat rasional yang dimiliki oleh laki-laki dan wanita memampukan mereka untuk mengatasi pembatasan-pembatasan yang sempit itu, dan untuk mencapai dan memasuki suatu dimensi universal dimana dialog itu mungkin, jika mereka sungguh-sungguh menginginkannya;
Ketiga, dialog adalah jalan umum mencari kebenaran. Karena itu ia membutuhkan waktu, dan kecepatannya harus pas. Paradigma yang selalu ada adalah paradigma dari bapa dalam Injil yang mencari yang tua dan yang baru dalam kotak permata, yang dengan hati-hati menyesuaikan diri dengan lingkungan sesuai dengan kebutuhan pihak lain. Kebenaran tak bisa dicapai secara mendadak dan tak terduga, tetapi hanya berkat usaha dan kerja keras
Editor : Admin
Penulis : Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM